Minggu, 01 Maret 2009

Dualisme antara Mengejar Nilai dan Pengembangan Soft Skill

Mahasiswa memiliki banyak definisi dan juga banyak interpretasi. Begitu juga dengan definisi yang saya yakini menjadi hakekat dari mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa terdiri dari 4 suku kata. Dua suku kata terakhir yaitu siswa. Siswa bagi saya berarti seseorang yang masih duduk bangku sekolah dan berusaha untuk menangkap pembelajaran yang diberikan secara sepihak oleh para guru. Dua suku kata kedua yaitu maha yang biasa saya artikan sebagai sesuatu yang tidak bisa/ diluar kebiasaan bila debandingkan dengan yang lain yang sejenis dengannya. Jadi, bisa diartikan mahasiswa sebagai orang yang masih duduk di bangku di bangku sekolah dan di luar kebiasaan. (LHO?,hehe)
Mahasiswa bagi saya bukanlah orang yang harus duduk di bangku sekolah/kuliah untuk mendengarkan penjelasan dari staf pengajar. Mahasiswa adalah lebih dari sekedar siswa yang hanya duduk dibangku sekolah tanpa pernah mau berpikir mengenai kelangsungan bangsa ini. Semua orang pasti mengetahui bahwa mahasiswa merujuk kepada orang yang menuntut pembelajaran di perguruan tinggi. Dan mereka tetap masih duduk di bangku juga. Namun tentu saja bukan duduk di bangku sekolah lagi, melainkan duduk di bangku kuliah. Lalu apakah perbedaan yang mendasar dari mahasiswa dan siswa itu sendiri? Padahal mereka sama-sama duduk di bangku dan menerima pembelajaran dari para pengajarnya masing-masing (siswa oleh dewan guru sedangkan mahasiswa oleh staf dosen).
Perbedaan yang mendasar yang sering digembar-gemborkan dan memang saya alami sendiri yaitu pada saat menuntut ilmu di bangku kuliah pihak yang berusaha mencari ilmu itu sendiri adalah mahasiswanya, bukanlah pengajar. Pengajar hanya berfungsi sebagai fasilitator. Walaupun teori itu masih bisa dimentahkan karena pada prakteknya itu sepenuhnya benar. Jadi, kesimpulannya mahasiswa itu berarti lebih dari sekedar siswa dan di luar kebiasaan yang biasanya siswa lakukan.
Pembahasan dari tulisan ini bukanlah mengenai bahan dasar yang digunakan untuk membuat bangku untuk menunjang proses pembelajaran mahasiswa. Tulisan ini bukanlah mengenai resep-resep untuk menaikkan derajat seorang siswa untuk menjadi seorang mahasiswa. Bukan juga untuk menurunkan derajat seorang mahasiwa untuk kemudian menjadi seorang siswa lagi….. Tapi tulisan ini mencoba untuk mengkritik kegiatan dari beberapa orang yang menurut saya belum menyadari hakekat dari mahasiswa itu sendiri.
Kebanyakan dari mahasiswa berusaha untuk mengejar nilai-nilai dibangku perkuliahan. Dan penulis melihat sebagian kecil orang menghabiskan waktunya di bangku perkuliahan hanya untuk suatu tujuan yang blur. Orang-orang yang saya maksud ini tidak memiliki tujuan yang pasti untuk mengikuti perkuliahan. Menurut penulis itu merupakan hal yang sah-sah saja karena memang penulis juga melakukan hal yang sama. Tapi satu hal yang membuat penulis miris adalah kenyataan bahwa sebagian dari mereka hanya berusaha pada nilai semata dan tidak melakukan hal lain yang bisa menunjang ilmu yang mereka dapat. Ilmu diluar bangku perkuliahan yang menurut penulis menjadi pembeda yang paling utama antara mahasiswa dan siswa.
Apabila mahasiswa hanya menghabiskan waktunya di dalam kelas dan menerima pembelaran dari dosen tanpa memberkali dirinya dengan ilmu-ilmu lain di luar kelas, menurut penulis mahasiswa tersebut belum pantas menyandang gelar mahasiswa dan tidak ada bedanya dengan siswa yang ada dibangku sekolah. Penulis melihat bahwa mahasiswa sebaiknya memanfaatkan berbagai macam fasilitas yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas dari mahasiswa agar mereka pantas menyandang gelar mahasiswa. Ya, kualitas yang tidak bisa didapatkan di dalam kelas tersebut biasanya disebutkan dengan istilah soft skill.
Pada saat siswa dalam taraf mengalami metamorphosis dari status siswa menjadi seorang mahasiswa, siswa langsung diberi asupan doktrin lengkap mengenai pentingnya soft skill maupun hal lain yang berkaitan dengan soft skill. Apabila di Universitas Indonesia, penulis sendiri mengalami hal tersebut dan merasakan langsung asupan doktrin mengenai soft skill yang didapat dari dosen, senior-senior, maupun pada saat mengikuti proses OBM. Namun, penulis tetap saja melihat hal tersebut tidak efektif dan masih tetap saja banyak orang yang tidak melaksanakan hal tersebut.
Di luar kelas, banyak fasilitas yang disediakan untuk melaksanakan proses pengembangan soft skill tersebut. Dari mulai berbagai macam organisasi hingga berpuluh-puluh kepanitiaan. Organisasi-organisasi yang menurut penulis sebenarnya mampu masing-masingnya mampu untuk menampung berbagai macam tipe mahasiswa dan berbagai macam soft skill yang ingin dikembangkan mahasiswa. Namun semuanya menjadi percuma karena tidak semua mahasiswa mau untuk memanfaatkan fasilitas tersebut. Yang terjadi justru kelompok ini berusaha untuk secara habis-habisan membekali diri mereka dengan asupan hard skill, berorientasi pada belajar semata (SO), dan kurang memperhatikan dunia sekitarnya. (hanya sedikit yang sekaligus termasuk di dalam kriteria ini).
Penulis adalah tipe orang yang sangat menghargai perbedaan. Penulis menghargai bahwa mahasiswa-mahasiswa tersebut bebas untuk memilih menjadi orang yang dia inginkan. Penulis berpendapat menjadi seorang yang study oriented merupakan pilihan dari setiap mahasiswa. Namun penulis berpendapat bahwa so yang baik adalah so yang juga harus diimbangi dengan pengembangan soft skill. Keseimbangan antara dua hal ini merupakan sesuatu yang ideal bagi mahasiswa. Walaupun pada prakteknya kedua hal ini adalah dualism yang saling mensubstitusi satu sama lain.
Penulis juga miris melihat banyaknya mahasiswa yang tidak menyadari hakekatnya sebagai seorang mahasiswa dalam hal fungsi social yang seyogyanya dijalankan mahasiswa. Saat-saat menuntut ilmu di bangku perkuliahan merupakan saat-saat yang ideal untuk mengembangkan dan menyalurkan idealism sebagai seorang mahasiswa. Idealisme yang seharusnya disalurkan di dalam fungsi social itu sendiri. Mahasiswa seharusnya bisa menyumbangkan sesuatu demi kemajuan bangsa ini. Contoh bentuk sumbangan paling simple yang bisa diberikan adalah sumbangan dalam hal pemikiran. Contoh sumbangan lain yang bisa diberikan adalah mencoba untuk memberikan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitar mahasiswa. Penulis mengamati bahwa fungsi social inilah yang banyak diabaikan oleh mahasiswa. Mahasiswa banyak yang sibuk menghabiskan waktunya untuk memahami pembelajaran serta mengejar nilai setinggi-tingginya tanpa mau meluangkan waktunya untuk menjalankan fungsi social dari mahasiswa itu sendiri.
Bagi penulis, orang-orang seperti itu tidak pantas menyandang gelar sebagai seorang mahasiswa. Bagi penulis, orang-orang seperti itu tidak lebih dari sekedar siswa yang hanya berusaha untuk mengejar nilai dan nilai demi pemenuhan kebutuhan dirinya sendiri tanpa mau berpikir mengenai fungsi social yang seharusnya di jalankan. Sebuah pemikiran yang tentu saja murni subjektivitas dari penulis.

1 komentar:

  1. Panjang2 bener lan tulisan lw..hahah

    lanjutkan pengenmbangan soft skill menulis..hahaha

    BalasHapus