Selasa, 24 Februari 2009

Economic Nationalism yang Berujung pada Proteksionisme

Kata-kata yang keluar dari mulut seorang Barrack Obama, Presiden Amerika berkulit hitam pertama ternyata bisa berpengaruh besar terhadap iklim perekonomian dunia. Pada saat Obama menyerukan kepada rakyatnya untuk membeli produk dalam negeri Amerika dengan jargon ‘American Buy’, banyak negara maju yang meradang dan menganggap seruan tersebut sebagai suatu bentuk perintah dari pemerintah untuk melaksanakan suatu proteksionisme barang dalam negeri dari serbuan barang impor. Seruan Presiden Obama tersebut bukanlah tanpa sebab. Seruan yang kemudian disebut sebagai upaya economic nationalism tersebut dilakukan dalam rangka penyelamatan ekonomi negara di tengah gelombang resesi dunia. Kebijakan proteksionisme inilah yang kemudian memicu banyak negara melakukan hal yang sama.

Situasi ini sebenarnya sudah pernah dialami Amerika pada awal 1990-an. Kalau kita kembali pada saat terjadinya peristiwa Great Depression tahun 1929, Amerika sudah pernah melakukan hal yang sama. Pada saat itu, Willis Hawley dan Reed Smoot menjadi tokoh-tokoh yang melatarbelakangi suatu kebijakan proteksionisme di mana Amerika menaikkan tarif impor pada level tertinggi dalam sejarah Amerika. Kebijakan itu merupakan suatu bentuk solusi dalam menghadapi krisis ekonomi yang menyebabkan kenaikan angka pengangguran secara luar biasa. Setelah kondisi ekonomi mulai membaik, pada akhirnya Amerika menghapuskan kebijakan proteksionisme tersebut dan kembali melakukan perdagangan dengan regulasi yang wajar tanpa adanya proteksionisme.

Krisis global saat ini memaksa tiap negara memikirkan cara-cara untuk menyelamatkan negaranya masing-masing. Tidak terkecuali dengan Amerika Serikat era Obama. Kebanyakan orang mendewakan Obama dan menganggap Obama adalah sosok penyelamat yang mampu membangkitkan perekonomian Amerika. Banyak orang menaruh harapan bahwa kebangkitan perekonomian Amerika bisa berimbas pada perekonomian dunia secara umum, termasuk Indonesia. Namun siapa yang menyangka Amerika mengambil posisi untuk memproteksi perdagangan dalam negerinya. Dengan harapan proteksi tersebut bisa membatasi jumlah impor yang masuk ke Amerika, sekaligus memperbanyak jumlah sumbangan dari Net Ekspor (ekspor kurang impor) untuk GDP negara tersebut. Suatu kebijakan yang terkesan egois dan bisa memberikan imbas yang buruk bagi negara-negara yang terlibat perdagangan dengan mereka.

Kebijakan proteksionisme dari Amerika ternyata ditanggapi juga dengan kebijakan yang sama oleh negara-negara maju lainnya. Negara-negara lain menganggap bahwa sikap yang diambil Amerika harus membuat mereka mengambil sikap yang sama agar Amerika tidak mendapatkan untung yang luar biasa dari mereka sementara negara mereka sendiri mengalami kerugian yang tidak sedikit dari perdagangan tersebut. Suatu keadaan yang mungkin dapat dijelaskan dengan menggunakan penjelasan “Game Theory’. Negara China yang merasakan imbasnya secara langsung yakni penurunan angka ekspor baja dan besi melakukan protes atas kebijakan Amerika tersebut. Bahkan negara Inggris mengeluarkan jargon provokatif yang secara eksplisit menyiratkan kebijakan proteksionis yang diambil negara tersebut yakni ‘British workers for British jobs’. Dan bukan tidak mungkin negara-negara lain akan mengikuti langkah dari negara-negara tersebut.

Suatu fenomena yang sepertinya mengindikasikan banyak negara yang mulai menjadi pragmatis dan menganut paham merkantilisme (suatu paham yang menyatakan bahwa kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya asset atau modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan dan bahwa besarnya volume pedagangan global teramat sangat penting) untuk menghadapi krisis global. Proteksionisme yang berarti negara berusaha untuk mengerem jumlah impor yang masuk ke dalam negara tersebut sehingga memaksimalkan keuntungan yang didapat dari melakukan perdagangan dengan negara lain.

Dimana letak negara Indonesia di dalam situasi ini? Indonesia masih tergolong negara berkembang dan secara umum tidak mempunyai bargaining position yang cukup kuat di dalam situasi ini. Indonesia sendiri suah mulai mengambil beberapa tindakan untuk menumbuhkan suatu sense economic nationalism di dalam negaranya sendiri yang sebenarnya mengarah kepada proteksionisme.

Dengan kebijakan proteksionisme dari negara yang melakukan perdagangan dengan Indonesia, tentu saja Indonesia harus tanggap dan berusaha untuk meminimalisir kerugian yang mungkin ditanggung dari interaksi dagang tersebut. Pemerintah seharusnya berani mengambil sikap dan menyadari adanya fenomena mulai berkembangnya kebijakan proteksionisme di dunia perekonomian. Karena pemerintah pastinya tidak ingin negara kita mengalami kerugian dari setiap interaksi dagang yang dilakukan. Pemerintah juga pasti tidak mau keputusan yang diambil secara tergesa-gesa membawa negara kepada kondisi dimana negara tidak siap untuk menghadapi konsekuensi dari keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, keputusan yang kritis dan tegas sangat diperlukan untuk mengatasi dampak krisis global di negara Indonesia.